Rabu, 11 Januari 2012

uii.ac.id
UII pada awalnya didirikan oleh beberapa tokoh nasional seperti Dr. Muhammad Hatta, KH. Abdulkahar Muzakkir, Moh. Roem, KH. A. Wahid Hasyim dan M. Natsir serta tokoh lainnya di Jakarta 28 Juli 1945. STI menjadi pendidikan tinggi nasional pertama di Indonesia yang kemudian berubah status menjadi universitas dan bernama Universitas Islam Indonesia pada 3 November 1947 sebagai respon keinginan dan kebutuhan untuk mengintegrasikan antara pengetahuan dan pendidikan spiritual.

UII memiliki 8 (delapan) Fakultas, pada tahun akademik 2012-2013, dengan 4 (empat) program Diploma III (D3), 22 (dua puluh dua) program studi strata satu (S1), 3 (tiga) program profesi, 7 (tujuh) program strata 2 (S2) dan 3 (tiga) program strata 3 (S3). Sebagian terbesar dari mereka mendapat akreditasi A dan B dari Badan Akreditasi Nasional (BAN-PT). Jumlah mahasiswa aktif sebanyak 17.000 mahasiswa dan telah memiliki 63.733 alumni hingga pertengahan tahun 2011.

Nasehat-Nasehat dalam kehidupan

Abu Ath-thayib bekata : " Siapa yang duduk bersama delapan golongan dibawah ini, maka Alloh akan memberikan sesuatu :
1. Duduk bersama orang kaya, pasti ia cinta dunia
2. Duduk bersama orang fakir, pasti ia syukur dan ridha dalam segala hal
3. Duduk bersama penguasa, pasti ia berkata keras dan kasar
4. Duduk bersama wanita, pasti ia tertarik kepadanya
5. Duduk bersama anak-anak, pasti ia suka bercanda
6. Duduk bersama orang fasik, pasti ia akan berani berbuat jahat
7. Duduk bersama orang-orang baik, pasti ia akan bertambah sadar
8. Duduk bersamaulama, pasti ilmu dan pengalaman bertambah.

Nasehat-Nasehat dalam kehidupan

Abu Ath-thayib bekata : " Siapa yang duduk bersama delapan golongan dibawah ini, maka Alloh akan memberikan sesuatu :
1. Duduk bersama orang kaya, pasti ia cinta dunia
2. Duduk bersama orang fakir, pasti ia syukur dan ridha dalam segala hal
3. Duduk bersama penguasa, pasti ia berkata keras dan kasar
4. Duduk bersama wanita, pasti ia tertarik kepadanya
5. Duduk bersama anak-anak, pasti ia suka bercanda
6. Duduk bersama orang fasik, pasti ia akan berani berbuat jahat
7. Duduk bersama orang-orang baik, pasti ia akan bertambah sadar
8. Duduk bersamaulama, pasti ilmu dan pengalaman bertambah.

Nasehat-Nasehat dalam Kehidupan

Ada delapan kenyataan yang tidak akan puas kecuali dengan delapan hal :
1. Mata dengan melihat
2. Bumi dengan hujan
3. Wanita dengan pria
4. Orang alim dari ilmu
5. Peminta dari meminta-minta
6. Tamak dari menghimpun harta
7. Larut dari air
8. Api dari kayu bakar

Senin, 02 Januari 2012

aku yang tersakiti by Judika

pernahkah kau merasa jarak antara kita
kini semakin terasa setelah kau kenal dia
aku tiada percaya teganya kau putuskan
indahnya cinta kita yang tak ingin ku akhiri
kau pergi tinggalkanku
tak pernahkah kau sadari akulah yang kau sakiti
engkau pergi dengan janjimu yang telah kau ingkari
oh tuhan tolonglah aku hapuskan rasa cintaku
aku pun ingin bahagia walau tak bersama dia
memang takkan mudah bagiku tuk lupakan segalanya
aku pergi untuk dia
tak pernahkah kau sadari akulah yang kau sakiti
engkau pergi dengan janjimu yang telah kau ingkari
oh tuhan tolonglah aku hapuskan rasa cintaku
aku pun ingin bahagia walau tak bersama dia
(walau tak bersama dia)
oh tuhan tolonglah aku hapuskan rasa cintaku
aku pun ingin bahagia walau tak bersama dia

Kamis, 29 Desember 2011

Ekonomi Islam sebagai Solusi

A. Latar Belakang
Pada saat ini terdapat berbagai macam sistem ekonomi negara-negara di dunia. Meskipun demikian secara garis besar, sistem ekonomi dapat dikelompokkan pada dua kutub, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Akan tetapi sistem ekonomi konvensional ( sistem ekonomi kapitalisme) yang menjadi sistem ekonomi terkuat didunia pada saat ini banyak menimbulkan berbagai masalah terutama masalah krisis yang terjadi pada akhir-akhir tahun ini yang disebabkan oleh bunga hal itu tentu melanggar aspek islam yaitu riba, selain itu ekonomi konvensional juga banyak melanggar aspek syariah seperti gharar, maysir dll.
Islam sebagai agama samawi yang paling mutakhir adalah agama yang dijamin oleh Allah kesempurnaannya, seperti ditegaskan Allah dalam surat Al-Maidah (5):3. Di sisi lain, Allah swt juga telah menjamin kelengkapan isi Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi ummat manusia yang beriman dalam menjalankan perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Ekonomi Islam merupakan bentuk evolusi atas teori ekonomi neoklasik. Ekonomi Islam muncul di saat perekonomian modern lambat dalam menghadirkan solusi atas problematika ekonomi kontemporer, kalau tidak boleh dikatakan tidak mampu untuk menghadirkan alternatif solusi. Bahkan dari kalangan tertentu, perekonomian neoklasik dianggap telah mati.
Selain itu, ekonomi Islam muncul sebagai refleksi atas ke-kaaffah-an keIslaman seorang Muslim. Pemikiran ini muncul sebagai tuntutan atas keyakinan seorang muslim terhadap komprehensif ajaran Islam. Islam tidak hanya mengajarkan bagaimana membangun sosok pribadi yang saleh, namun juga memberikan rujukan guna membangun kesalehan sosial. Ajaran Islam tidak hanya berkutat pada persoalan ritual dan hubungan interansendental seorang hamba terhadap Tuhannya, namun juga memberikan warna dalam ruang publik kehidupan manusia. Nilai-nilai Islam akan masuk dalam setiap dimensi kehidupan manusia, dan memberikan warna di dalamnya.
Pernyataan tersebut memberikan pemahaman bahwa ajaran Islam bersifat komprehensif. Dalam arti tidak ada satu ruangpun dalam kehidupan yang luput dari ketentuan Islam. Aturan Islam akan masuk dalam bidang hukum, politik, ekonomi, budaya, dan dimensi kehidupan lainnya. Dengan demikian, maka pantaslah jika Islam dijadikan sebagai way of life, peta kehidupan yang akan menunjukan jalan kepada manusia untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sebagai sistem kehidupan, Islam tidak akan mampu dan optimal untuk hadir sebagai peta kehidupan, jika tidak didukung dengan sub-sistem di bawahnya. Kegiatan perekonomian, politik, budaya dan sebagainya, sangat berpengaruh terhadap warna Islam sebagai peta kehidupan. Untuk itu Islam akan senantiasa hadir dalam sub-sistem kehidupan demi optimalnya Islam sebagai sistem kehidupan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu ekonomi islam dan bagaimana bangunan dasar ekonomi islam?
2. Apa perbedaan ekonomi islam dengan konvensional?
3. Bagaimana Ekonomi Islam sebagai Way of Life

 PEMBAHASAN
A. Pengertian dan kerangka dasar Ekonomi Islam
Para pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda, akan tetapi semuanya bermuara pada pengertian yang relatif sama. Menurut M. Abdul Mannan, ekonomi Islam adalah “sosial science which studies the economics problems of people imbued with the values of Islam”. Menurut Khursid Ahmad, ekonomi Islam adalah a systematic effort to try to understand the economic problem and man’s behavior in relation to that problem from an Islamic perspective. Sedangkan menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, ekonomi Islam adalah “the muslim thinkers’ response to the economic challenges of their times. This response is naturally inspired by the teachings of Qur’an and Sunnah as well as rooted in them”.
Dari berbagai definisi tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami (berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam). Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut Umer Chapra adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Tauhid
Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.
2. Prinsip khilafah
Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali dengan perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) persaudaraan universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3), gaya hidup sederhana, (4) kebebasan manusia.
3. Prinsip keadilan
Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan tayyib, 3) distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.

B. Perbedaan ekonomi Islam dengan Konvensianal
a. Rasionaliti dalam ekonomi konvensional adalah rational economics man yaitu tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa mengambilkira hari akhirat. Sedangkan dalam ekonomi Islam jenis manusia yang hendak dibentuk adalah Islamic man (‘Ibadurrahman), (QS 25:63). Islamic man dianggap perilakunya rasional jika konsisten dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin, Allah-lah yang berhak membuat rules untuk mengantarkan kesuksesan hidup. Ekonomi Islam menawarkan konsep rasionaliti secara lebih menyeluruh tentang tingkahlaku agen-agen ekonomi yang berlandaskan etika ke arah mencapai al-falah, bukan kesuksesan di dunia malah yang lebih penting lagi ialah kesuksesan di akhirat.
b. Tujuan utama ekonomi Islam adalah mencapai falah di dunia dan akhirat, sedangkan ekonomi konvensional semata-mata kesejahteraan duniawi.
c. Sumber utama ekonomi Islam adabah al-Quran dan al-Sunnah atau ajaran Islam. Segala sesuatu yang bertentangan dengan dua sumber tersebut harus dikalahkan oleh aturan kedua sumber tersebut. Berbeda dengan ekonomi konvensional yang berdasarkan pada hal-hal yang bersifat positivistik.
d. Islam lebih menekankan pada konsep need daripada want dalam menuju maslahah, karena need lebih bisa diukur daripada want. Menurut Islam, manusia mesti mengendalikan dan mengarahkan want dan need sehingga dapat membawa maslahah dan bukan madarat untuk kehidupan dunia dan akhirat.
C. Ekonomi Islam sebagai Way of Life
Islam sebagai system hidup (way of life) dan merupakan agama yang universal sebab memuat segala aspek kehidupan baik yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya. Seiring dengan maju pesatnya kajian tentang ekonomi islam dengan menggunakan pendekatan filsafat dan sebagainya mendorong kepada terbentuknya suatu ilmu ekonomi berbasis keislaman yang terfokus untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam.
Banyak sekali keterangan dari Al Quran yang menyinggung masalah ekonomi, baik secara eksplisit maupun implisit. Bagaimana jual beli yang baik dan sah menurut Islam, pinjam meminjam denan akad-akad yang sah sampai dengan pelarangan riba dalam perekonomian. Walaupun pada kitab suci sebelumnya juga pernah disebutkan, dimana perbuatan riba itu dibenci Tuhan. Sedangkan pada tatanan teknisnya diperjelas dengan hadis serta teladan dari Rasulullah dan para alim ulama.
Dari namanya sudah dapat dipastikan bahwa secara ideologi sistem ekonomi Islam kental dengan nuansa keislaman, dengan kata yang lebih jelas adalah aqidah islamiyah. Sistem ekonomi Islam memberikan tuntunan pada manusia dalam perilakunya untuk memenuhi segala kebutuhannya dengan keterbatasan alat pemuas dengan jalan yang baik dan alat pemuas yang tentunya halal, secara dzatnya maupun secara perolehannya.
Obyek kajian sistem ekonomi Islam adalah homo-economy-religius, diamana secara fitrah manusia membutuhkan pengejawantahan rasa ber-ketuhanan dengan melakukan nilai-nilai syariat Islam. Tanpa harus memandang sisi sistem ekonmi Islam sebagai ekonomi positif dan normatif. Sedangkan obyek kajian yang lain adalah sebagai bagian dari manusia yang belum menerima hidayah dan tengah tenggelam dalam kehidupan parsial. Sebuah derivasi dari kesejatian dalam ber-Islam diharapkan bisa memberikan kesejahteraan bagi semua manusia, sebagaimana Islam diturunkan untuk makhluk di bumi ini agar selamat sejahtera.
Tujuan utama Syari‘at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahahan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil‘alamin. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menegaskan:
ومعلوم ان الشريعة انما وضعت لمصالح الخلق باطلاق
Artinya: “Telah diketahui bahwa syariat Islam itu disyariatkan/diundangkan untuk mewujudkan kemaslahahan makhluk secara mutlak”. Dalam ungkapan yang lain Yusuf al-Qaradawi menyatakan:
اينما كانت المصلحة فثم حكم الله
Artinya: “Di mana ada maslahah, di sanalah hukum Allah”.
Dua ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungkait antara Syariat Islam dengan kemaslahahan. Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayah al-tayyibah). Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik. Dengan demikian tujuan sistem ekonomi Islam adalah berkait dengan tujuan yang tidak hanya memenuhi kesejahteraan hidup di dunia saja (materialis) namun juga kesejahteraan hidup yang lebih hakiki (akhirat). Allah SWT sebagai puncak tujuan, dengan mengedepankan pencarian keridloan-Nya dalam segala pola perilaku sejak dari konsumsi, produksi hingga distribusi.
Secara terperinci, tujuan ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan ekonomi yang terpenting. Kesejahteraan ini mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara.
b. Tercukupinya kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan serta sistem negara yang menjamin terlaksananya kecukupan kebutuhan dasar secara adil.
c. Penggunaan sumber daya secara optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak membazir.
d. Distribusi harta, kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata.
e. Menjamin kebebasan individu.
f. Kesamaman hak dan peluang.
g. Kerjasama dan keadilan
A. KESIMPULAN
System ekonomi kapitalis mendorong ketidakadilan dan ketimpangan pendapatan dalam masyarakat menimbulkan konflik dan menciptakan kemiskinan yang permanen bagi warga masyarakat. Dengan kebobrokan tersebut maka sudah seharusnya untuk ditinggalkan dan diganti dengan system ekonomi islam yang mengedepankan nilai kebebasan dalam bertindak dan berbuat dengan dilandasi oleh ajaran agama serta nilai keadilan
Ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami (berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam). Mempunhyai tiga prinsip dasar yaitu Tauhid, khilafah dan Keadilan.
B. SARAN
Ekonomi islam sebagai upaya menjadi “ way of life” harus dikembangkan secara intensif secara bertahap dan mampu mengembangkan produk keuangan baru sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mampu berkembang pesat. Selain itu nilai-nilai yang terkandung didalam islam juga mampu diaplikasikan dalam praktek ekonomi sehingga pada nantinya bisa tercipta sistem ekonomi islam yang sesungguhnya yang mampu menjadi solusi dan mampu menjadikan islam sebagai way of life



DAFTAR PUSTAKA


Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Islam. Jakarta : Gema Insani
P3EI. Ekonomi Islam. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/08/distribusi-dalam-ekonomi-islam-sebuah.html diakses tanggal 13 Desember 2011
www.syakirsula.com/index.php diakses tanggal 13 Desember 2011

Pegadaian Syari'ah


A.    PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM

1.      Pengertian Gadai
Makna gadai dalam bahasa hukum perundang – undangan  disebut barang jaminan, anggunan dan rungguhan. Didalam islam gadai dikenal dengan ar-rahn, secara syara’ dimaksudkan menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.

2.      Dasar Hukum
Dasar hukum gadai syariah berlandasan ayat-ayat Al-Qur’an, Hadis Nabi SAW, Ijma’ para ulama dan fatwa MUI.
a.       Al-Qur’an
Dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 283 yang digunakan sebagai dasar untuk membangun gadai syariah yakni :

283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

[180] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.

b.      As-Sunnah
   Dalam hadist berasal dari ‘Aisyah disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga yang diutang, sebagai tanggungan atas utangnya itu Nabi Muhammad SAW menyerahkan baju besinya (HR. Bukhari)
c.       Ijtihad
   Berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist di atas menunjukkan bahwa transaksi atau perjanjian gadai dibenarkan dalam Islam bahkan Nabi Muhammad SAW pernah melakukannya. Namun demikian, perlu dilakukan pengkajian lebih dalam dengan melakukan Ijtihad. Para ulama juga mengambil indikasi dari kisah saat nabi menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan  makanan dari seoarang yahudi.
d.      Fatwa Dewan Syariah Nasional
            Berdasrkan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI) yakni No. 25/ DSN-MUI/III/2002 tanngal 26 juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn  diperbolehkan dengan berbagai ketentuan.

1.      Ketentuan Umum
a.       Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhum (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
b.      Marhum dan manfaatnya masih menjadi milik rahin, pada dasarnya marhum tidak boleh dimanfaaatkan oleh murtahin tanpa seizing rahin.
c.       Pemeliharaan dan penyimpanan marhum pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, dapat juga dilakukan oleh murtahin, akan tetapi biaya dan pemeliaharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
d.      Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhum tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman
e.       Penjualan marhum:
1.      Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
2.      Apabila rahin tidak dapat melunasi utangnya, maka marhum dapat dijual paksa.
3.      Hasil penjualan marhuim dapat digunakanuntuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
4.      Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rhin dan kekurangan nya menjadi kewajiban rahin.
2.      Ketentuan penutup
a.       Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantaranya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Islam setelah tidak ada kesepakatan setelah bermusyawarah.
b.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari  terdapat kekeliruan akan diubah dan  sebagaimana mestinya.

B.     RUKUN DAN SYARAT GADAI

1)      Rukun Gadai
a.       Orang yang berakad (Aqid)
1.      Rahin yakni orang yang menggadaikan barang
2.      Murtahin yakni orang yang berpiutang dan menerima gadai
b.      Shighat yakni ijab kabul antara rahin dan murtahin
c.       Ma’aqud ‘alaih (barang yang diakadkan)
1.      Marhum yakni barang yang digadaikan
2.      Marhun bihi (dain) yakni utang yang disebabkan karena adanya akad rahn.

2)      Syarat- Syarat Gadai
a.       Sighat
Syarat sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan waktuyang akan datang.
b.      Pihak – Pihak yang berakad (Akid)
Pihak – pihak yang berakad yakni rahin dan murtahin haruslah cakap menurut hukum yakni ditandai dengan aqil baligh, berakal sehat, dan mampu melakukan akad.
c.       Utang (Marhun bihi)
Utang merupakan kewajiban bagi pihak yang berutang untuk membayar kepada pihak yang memberi piutang
d.      Marhum
Marhum merupakan barang yang dipegang oleh murtahin atau yang mewakili, sebagai jaminan utang. Para ulama menyepakati bahwa syarat yang berlaku pada barang gadai adalah sama dengan syarat yang berlaku pada barang yang dapat diperjual belikan.

C.    AKAD DALAM GADAI
Islam mengajarkan pada umatnya untuk menjungjung tinggi nilai-nilai kemaslatan, karena dengan begitu umat manusia akan terhindar dari kezaliman dan praktik ketidakadilan. Maka berikut suatu alternatif mekanisme pembentukan laba gadai yang sesuai dengan prinsip syari’ah dapat dibentuk secara:
a.       Akad Rahn.
Melalui hal ini, lembaga pegadaian  dapat memamfaatkan barang gadaian yang diserahkan oleh Rahn (penggadai) untuk memperoleh pendapatan usahanya. Karena barang tersebut bukan miliknya secara sempurna. Oleh karena itu, Murtahin harus membagi hasilnya kepda Rahn (pemilik barang) sesuai kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak. Adapun untuk lebih jelasnya mengenai mekanisme akad tesebut, dapat dilihat pada gambar dibawah ini.


b.      Akad Bai’ Al-Muqayadah.
Akad Bai’ Al-Muqayadah dapat diterapkan pada nasabah yang menginginkan pegadaian barangnya untuk keperluan produktif, artinya dalam menggadaikan barangnya nasabah tersebut menginginkan modal kerja berupa pembelian barang. Sedangkan barang jaminan yang dapat dijaminkan untuk akad ini adalah barang-barang yang dapat dimamfaatkan atau tidak dapat dimamfaatkan (dikelola) oleh Rahin ataupun Murtahin. Dengan demikian Murtahin akan membelikan barang yang sesuai dengan keinginan Rahin, dan pihak penggadai (Rahin) akan memberikan Mark Up kepada Murtahin sesuai dengan kesepakatan pada saat akad berlangsung dan sampai batas waktu yang telah ditentukan/disepakati. Selanjutnya jika Murtahin dapat dimamfaatkan, maka dapat diadakan kesepakatan baru (akad lain) mengenai pemamfaatan Marhun, dan jenis akadnya disesuaikan dengan jenis barangnya. Jika Rahin tidak mau memamfaatkan Marhun dan memungut hasilnya. Sedangkan sebagian hasilnya harus diberikan kepada Rahin, karena Rahin merupakan pemilik Marhun yang sebenarnya. Begitu juga sebaliknya, apabila Murtahin tidak mau diberi amanat untuk mengelola barang gadaian, maka Rahin-lah yang yang harus mengelola, dan akan memberikan bagi hasil kepada Murtahin sesuai dengan kesepakatan.
c.       Akad Al-Mudharabah.
Akad Al-Mudharabah hanya dapat diterapkan pada nasabah yang menginginkan penggadaian barangnya untuk keperluan produktif, artinya dalam menggadaikan barangnya nasabah tersebut menginginkan modal kerja. Sedangkan barang jaminan yang dapat dijaminkan untuk akad ini adalah barang-barang yang dapat dimamfaatkan atau tidak dapat dimamfaatkan (dikelola) oleh Rahin dan Murtahin. Dengan demikian Rahin akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan usaha yang diperoleh kepada Murtahin sesuai dengan kesepakatan sampai modal yang dipinjam terlunasi.
d.      Akad Al-Qardhul Hasan.
Akad ini diterapkan untuk nasabah yang menginginkan penggadaian barangnya untuk keperluan konsuntif. Barang jaminannya hanya dapat berupa barang yang tidak menghasilkan (tidak dapat dimamfaatkan). Dengan demikian Rahin akan memberikan biaya upah atau Fee kepada Murtahin, karena Murtahin telah menjaga atau merawat Marhun.
D.    MEKANISME OPERASIONAL PEGADAIAN ISLAM
Akad gadai dimulai sejak nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya ditempat yang telah dipersiapkan oleh pegadaian, dengan ini maka akan timbul biaya – biaya yamg meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan, dan seluruh proses kegiatannya, dengan dasar seperti ini dibenarkan bagi pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai dengan jumlah yang disepakati pada saat akad berlangsung antara rahin dan murtahin. Berjalannya perjanjian gadai sangat ditentukan oleh banyak hal. Antara lain adalah subyek dan obyek perjanjian gadai. Subyek perjanjian gadai adalah Rahin (yang menggadaikan barang) dan Murtahin (yang menahan barang gadai). Obyeknya ialah Marhun (barang gadai) dan Utang yang diterima Rahin.

a.       Ketentuan Pelaksanaan Gadai dalam Islam.
1.      Kedudukan Barang Gadai.
Selama ada di tangan pemegang gadai, kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadainya. Untuk menjaga keselamatan barang gadai tersebut dapat diadakan persetujuan untuk menyimpannya pada pihak ketiga, dengan ketentuan bahwa  persetujuan itu baru diadakan setelah perjanjian terjadi.
2.      Pemamfaatan Barang Gadai.
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil mamfaatnya, baik oleh pemiliknya maupun oleh penerimanya gadai. Namun apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu, diusahakan agar di dalam perjanjian gadai itu tercantum ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama. Ketentuan itu dimaksudkan untuk menghindari harta benda tidak berfungsi atau Mubadzir.
3.      Risiko atas Kerusakan Barang Gadai.
Apabila Murtahin sebagai pemegang amanat telah memelihara barang gadai dengan sebaik-baiknya sesuai dengan keadaan barang, kemudian tiba-tiba barang tersebut mengalami kerusakan atau hilang tanpa disengaja, maka para ulama dalam hal ini berbeda pendapat mengenai siapa yang harus menangggung risikonya. Berbeda halnya jika barang gadai rusak atau hilang  yang disebabkan oleh kelengahan Murtahin. Dalam hal ini tidak ada perbedaaan pendapat, semua ulama sepakat bahwa Murtahin menanggung risiko, memerbaiki risiko, memperbaiki kerusakan atau mengganti yang hilang.
4.      Pemeliharaan Barang Gadai.
Biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan miliknya.
5.      Kategori Barang Gadai
Jenis barang gadai dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut :
a.       Benda bernilai menurut hukum syara’.
b.      Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi.
c.       Benda diserahkan seketika kepada Murtahin.
6.      Akad Gadai.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa penggadaian dianggap sah apabila telah memenuhi tiga syarat, yaitu:
a.       Berupa barang karena hutang tidak bisa digadaikan.
b.      Penetapan kepemilikan penggadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf.
c.       Barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah tiba pelunasan utang gadai.

b.      Aspek-Aspek Pendirian Gadai Syari’ah.
Adanya keinginan masyarakat untuk berdirinya lembaga gadai Syari’ah dalam bentuk perusahaan, mungkin karena umat Islam menghendaki adanya lembaga gadai perusahaan yang benar-benar menerapkan prinsip Syari’ah Islam. Untuk mengakomodir keinginan ini perlu dikaji berbagai aspek penting, antara lain:
1.      Aspek Legalitas.
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tentang pengalihan bentuk Perusahaan Jawatan Pegadaian (PERJAN) menjadi perusahaan umum (PERUM) Pegadaian. Pasal 3 ayat (1a), menyebutkan bahwa Perum Pegadaian adalah badan usaha tunggal yang diberi wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai. Kemudian misi dari Perum Pegadaian adalah terdapat pada Pasal 5 ayat (2b), yaitu pencegahan praktek Ijon, Riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya. Dari Pasal-pasal PP tersebut dapat dijadikan kekuatan untuk mendirikan pegadaian Syari’ah.
2.      Aspek Pemodalan.
Modal untuk menjalankan perusahaan gadai adalah cukup besar, karena selain diperlukan dana untuk dipinjamkan kepada nasabah juga diperlukan investasi untuk penyimpanan barang gadai.
3.      Aspek Sumber Daya Manusia.
Keberlangsungan perusahaan gadai Syari’ah sangat ditentukan oleh kemampuan sumber daya manusianya dalam melakukan taksiran atas barang gadai, atau analisis investasi yang baik.
4.      Aspek Kelembagaan.
Operasional perusahaan gadai Syari’ah harus membawa misi Syi’ar Islam. Oleh karena itu, aktivitas gadai jangan sampai menyimpang kaidah dan norma agama Islam.
5.      Aspek Sistem dan Prosedur.
Pentingnya aspek sistem dan prosedur adalah agar aktivitas operasional gadai Syari’ah dapat membawa efektivitas dan efisiensi.
6.      Aspek Pengawasan.
Pengawasan harus selalu melekat dalam aktivitas gadai Syari’ah.
c.       Mekanisme perjanjian gadai atau Rahn ini dapat dirumuskan apabila telah diketahui, beberapa hal yang terkait di antaranya:
1.      Syarat Rahin dan Murtahin.
2.      Syarat Marhun dan utang.
3.      Kedudukan Marhun.
4.      Risiko atas kerusakan Marhun.
5.      Pemindahan milik Marhun.
6.      Perlakukan bunga dan riba dalam perjanjian gadai.
7.      Pemungutan hasil Marhun.
8.      Biaya pemeliharaan Marhun.
9.      Pembayaran utang dari Marhun.
10.  Hak Murtahun atas harta peninggalan.
            
E.     ANALISIS SWOT PEGADAIAN SYARIAH
Prospek suatu perusahaan secara relatif dapat dilihat dari suatu analisis yang disebut SWOT, yakni Kekuatan (Strenght), Kelemahan (Weakness), Peluang (opportunity) dan Ancaman (Threath). Hal-hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Kekuatan Pegadaian, Syari’ah bersumber dari:
a.       Dukungan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk.
b.      Dukungan lembaga keuangan Islam di seluruh dunia.
c.       Pemberian pinjaman lunak Al-Qardul Hasan dan pinjaman Mudharabah dengan sistem bagi hasil pada pegadaian Syari’ah sangat sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
  1. Kelemahan Pegadaian Syari’ah:
a.       Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil adalah jujur. Namun hal ini dapat menjadi bumerang.
b.      Memerlukan metode penghitungan yang rumit terutama dalam menghitung biaya yang dibolehkan dan pembagian nasabah untuk nasabah-nasabah yang kecil.
c.       Karena menggunakan konsep bagi hasil, pegadaian Syari’ah lebih banyak memerlukan tenaga-tenaga profesional yang handal.
d.      Perlu adanya perangakat peraturan pelaksanaan untuk pembinaan dan pengawasannya
3.      Peluang Pegadaian Syari’ah.
a.       Munculnya berbagai lembaga bisnis Syari’ah (lembaga keuangan Syari’ah)
b.      Adanya peluang ekonomi bagi berkembangnya Pegadaian Syari’ah.

  1. Ancaman Pegadaian Syari’ah.
a.       Dianggap adanya fanatisme agama.
b.      Susah untuk menghilangkan mekanisme bunga yang sudah mengakar dan menguntungkan bagi sebagian kecil golongan.

KESIMPULAN
. Didalam islam gadai dikenal dengan ar-rahn, secara syara’ dimaksudkan menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut. Dasar hukum gadai syariah berlandasan ayat-ayat Al-Qur’an, Hadis Nabi SAW, Ijma’ para ulama dan fatwa MUI.
Akad yang diterapkan dalam pegadaian syariah :
a.       Menerapkan akad Ar-Rahn.
b.      Menerapkan akad Bai’ Al-Muqayadah.
c.       Menerapkan akad Al-Mudharabah.
d.      Menerapkan akad Al-Qardhul Hasan.

Barang gadai dapat dimamfaatkan oleh penerima gadai selama pihak pemberi gadai selama pihak pemberi gadai mengizinkan. Hal ini ditempuh untuk menghindari adanya kerugian pada kedua belah pihak.

DAFTAR PUSTAKA

            Ali, Zainuddin. Hukum Gadai Syariah, Jakarta : Sinar Grafika, 2008
            Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta : Ekonisia, 2008
             http://www.gudang-info.com